Hantu Baju Merah
Seperti biasa, setiap bangun tidur aku membuka ponsel dan memeriksa pesan-pesan yang masuk, aku periksa sambil tiduran santai karena kantuk masih bergelayut di mata. Tapi kali ini ada pesan yang sangat menghentak, membuatku kalut dan nyaris tidak percaya. Winda mengabarkan, Bimo meninggal, menggantung diri di pendopo kampus.
![]() |
ilustrasi by dream.ai |
Untuk memastikan aku telpon Winda, belum juga aku lontarkan pertanyaan sudah terdengar tangisan dan suara histeris memintaku untuk segera datang ke kampus.
“Buruan ke sini!! Bimo gantung diri!”
Dengan panik aku langsung bergegas, cuci muka, ganti baju, buka pintu dan motor langsung melaju dalam sekali hentakan. Dalam perjalanan otaku banyak muncul pertanyaan, bagai mana mungkin dia bunuh diri, semalam dia baik-baik saja. Ngopi dan mabar, sambil ngobrol-ngalor ngidul tak tentu maknanya. Jam sebelas dia pulang, membatalkan rencana nginep di tempat kostku. Katanya dia mau ketemu sama cewek yang membuatnya mabuk kepayang.
“Tak ada yang lebih berat dari rindu yang sedang menggebu dari seorang yang sedang dilanda cinta!” ujarnya diakhiri derai tawa dan mata berbinar-binar.
“Kapan-kapan kenalin dong! Siapa tahu dia nanti milih aku.” Ujarku, sedikit menggoda.
“Nggak mungkinlah, dia tercipta hanya untukku!” Jawabnya sambil menyibakan rambut gondrongnya.
“Dia seperti apa, hingga membuatmu terpesona?”
“Dia cantik, putih, rambut panjang, suaranya lembut dan suka memakai baju merah.”
Aku tak melanjutkan pertanyaan, kubiarkan saja dia pergi meski rasa aneh menyelinap dalam otakku. Kenapa janjian harus nyaris tengah malam.
****
Setiba di kampus, Winda langsung menyambutku dengan tangisan dan lontaran pertanyaan.
“Bukannya semalam Bimo nginep di tempat kostmu! Kenapa bisa bunuh diri gini!”
“Dia nggak jadi nginep, dia pulang jam sebelas.”
“Kenapa dia bisa bunuh diri gini, dia ada masalah apa?” Suara Winda cukup keras, hingga beberapa orang langsung menatap kearahku, termasuk seorang polisi yang sedang memegang pulpen dan secarik kertas.
“Ya nggak tahulah! Dia terlihat baik-baik saja semalam.”
Polisi yang tadi melihatku, terlihat menghampiri dengan tatapannya mengarah padaku. Aku berusaha tenang, menghampiri atau tidak, pastinya aku termasuk yang akan dimintai keterangan, karena akulah orang yang malam itu bersama Bimo.
“Maaf, anda teman dekatnya korban?” pertanyan yang terasa dingin diucapkan dengan sikap yang juga begitu dingin.
“Oh, iya Pak, saya kawan dekatnya.”
“Tadi saya dengar anda orang terakhir yang bersama korban!”
“Bukan Pak, hanya sampai jam sebelas lalu dia pulang mau ketemu temannya.”
Poisi itu tertegun sambil mengerutkan dahinya, “Oke, nanti anda bisa ikut saya ke kantor, untuk memberikan keterangan!”
“Siap Pak!”
“Saya juga siap ikut, mungkin keterangan saya berguna. Saya teman dekatnya juga.” Timpal Winda.
“Oke kalau begitu!” Setelah ucapan singkatnya yang kaku, Pak Polisi itu langsung pergi tanpa permisi, menuju lokasi jasad Bimo yang sudah dinaikan ke ambulance.
“Maksudmu apa tadi mau ketemu temannya!” Winda langsung melanjutkan introgasi.
“Oh, dia sedang mendekati cewek yang sering dia lihat di gedung rektorat, katanya sih cewek itu suka pakai baju merah.”
“Apa!” Winda terlihat kaget, “Cewek baju merah di gedung rektorat!”
“Iya, kamu kenal? Cantik nggak?”
“Memangnya selama ini nggak pernah dengar, kalau di kampus kita ini ada hantu berbaju merah di gedung rektorat. Ya ampun, begini nih kalau kuliah kebanyakan main game!”
“Masa sih Bimo naksir hantu! Nggak ilmiah banget penjelasannya. Lagian ngapain juga hantu nongkrong di gedung rektorat, kita yang mahasiswanya aja malas pergi ke sana!”
“Laganya sok ilmiah, giliran didatangi hantu ngacir juga!” Ucap Winda, terlihat dia menarik ujung bibirnya.
Aku memilih tak menanggapi kesinisannya Winda, perhatianku lebih terarah para polisi yang sibuk menganalisa tempat kejadian perkara. Para wartawan yang sibuk mencari informasi, orang-orang yang berkerumun, serta orang-orang yang sibuk memfoto lokasi dan selfie. Namun tiba-tiba aku merasakan badanku dingin dan bulu kuduk berdiri. Kucoba menghela nafas perlahan, tatapanku menyapu sekeliling. Astaga, jantungku langsung berdetak hebat, saat kulihat seseorang berbaju merah, berdiri mematung di depan gedung rektorat, tatapannya tajam mengarah padaku.
“Cewek yang Bimo deketin itu suka baju merahnya model dress?” Winda bertanya dengan suara pelan.
“Iya, kamu melihatnya juga?”
“Lihat apa?”
“Itu cewek baju merah depan gedung rektorat.”
Winda langsung mengarahkan tatapannya ke arah gedung rektorat, “Mana, nggak ada dia!”
Aku pun mencoba kembali melihatnya, ternyata memang sudah tidak ada. Tetapi rasa takut masih kurasakan, membuat keringat dingin menderas dan jantung bertalu tak menentu.
****
Pada polisi aku menceritakan tentang kegiatanku bersama Bimo malam itu, hingga akhirnya dia pulang mau menemui cewek yang ditaksirnya. Polisi berusaha menggali tentang sosok cewek itu, namun aku tak bisa menjelaskannya, karena memang tidak mengenalnya. Tapi Winda, tanpa ditanya langsung menjelaskan kalau sosok perempuan itu adalah hantu, Winda sama sekali tak menyadari, hal yang berbau astral tak mungkin bisa jadi bahan penyelidikan, memangnya polisi ini Ghostbusters yang mau menangkap hantu.
Kasus kematian Bimo ini menjadi berita nasional, kabar aku dimintai keterangan polisi pun langsung tersiar. Sampai ada beberapa media mewawancaraiku. Kemudian perkembangan baru muncul ketika polisi menggeledah kamar kost Bimo, ditemukan sebuah buku harian, yang isinya sangat membuat aku tersentak. Bagaimana tidak! Bimo menulis begitu sangat membenciku karena aku merebut semua perempuan yang ditaksirnya, termasuk Winda. Hingga dia merawat dendam dan ingin melenyapkanku.
Hingga akhirnya spekulasi tuduhan liar di media sosial mengarah akulah yang membunuh Bimo, tepatnya terjadi perkelahian antara aku dan Bimo hingga membuat Bimo meninggal, untuk menghilangkan barang bukti, aku membuat seolah-olah Bimo gantung diri. Banyak yang percaya tuduhan ini dan polisi pun berusaha menggali informasi tentang ini, aku dipanggil kembali dimintai keterangan, Winda dan teman-temanku juga dimintai keterangan, hingga kamar kostku digeledahnya, tapi untunglah tak ditemukan bukti yang mengarah kalau tuduhan itu benar. Hingga akhirnya polisi menyimpulkan, kematian Bimo murni bunuh diri.
****
“Kamu memang tidak membunuh Bimo, tapi kamu penyebab kenapa dia bunuh diri!” Tuduhan Winda dia hunuskan di sudut ruang perpustakaan.
“Penyebab yang mana lagi! Kamu termakan teori konsfirasi!” Ujarku geram.
“Kamu berusaha mengambil semua cewek yang dia suka, jangan-jangan kamu deketin aku juga demi mengalahkannya, kamu jahat!”
Aku menghela napas untuk meredakan emosi yang nyaris meletup. “Aku nggak pernah tahu dia suka sama cewek yang aku dekati termasuk sama kamu, apakah selama ini dia juga menunjukan tanda-tanda kalau dia naksir kamu? Tidak kan! Hanya cewek baju merah itu yang dia ceritakan, cewek yang tidak pernah aku tahu itu siapa!”
Winda diam sejenak, sepertinya sedang berpikir sesuatu, “Kita harus tahu kenapa hantu baju merah itu membawa Bimo!”
“Maksudmu apa?”
“Kita harus ketemu Mang Jarik, katanya dia tahu tentang hantu baju merah itu!”
Winda langsung bangkit dan aku pun mengikuti tanpa banyak bertanya, meninggalkan ruang perpustakaan, menelusuri selasar, muterin taman, nanya-nanya ke petugas kebersihan, hangga kami diarahkan menuju gedung rektorat.
Mang Jarik, salah seorang petugas kebersihan kampus. Dia terlihat agak sedikit aneh, jalannya telihat lambat dan menunduk, suka menyendiri dan kadang aku lihat dia suka bicara sendiri. Badanya tinggi kurus, usianya terlihat sudah berumur, mendekati usia enam puluhan. Aku sama sekali belum pernah mendengar dia bicara, tidak tahu dengan Winda.
Kami menemukannya di bangku taman samping gedung, duduk menunduk sambil mulut komat-kamit. Kami berjalan perlahan mendekat, dia tetap tak bergeming, sampi kami berdiri di sampingnya pun, dia tetap saja menunduk.
“Mang?” Tegur Mirna dengan suara bergetar.
“Nanti malam datang saja ke sini, kalau ingin ketemu Si Baju Merah!” Suara serak terdengar menakutkan.
“Iya baik Mang.” Timpal Winda, setelahnya dia langsung memutar badan dan melangkah meninggalkan Mang Jarik dengan sedikit tergesa.
Aku ngikutin aja, tapi rasa penasaran membuat aku beberapa kali menoleh ke belakang, melihat Mang Jarik, dan pada saaat menoleh terakhir, sungguh membuatku tesentak hebat, aku melihat hantu baju merah itu tengah duduk di hadapan Mang Jarik. Langsung saja aku mempercepat langkah mendahului Winda.
****
Malam nampak redup, aroma dupa yang ada di dapan Mang Jarik, menyebarkan aroma menakutkan, aroma kematian. Menandakan ritual memanggil arawah sedang dilakukan. Aku duduk bersila, begitu juga dengan Winda. Rasa takut yang mendera coba kuenyahkan, demi mencari misteri kematian Bimo.
Tiba-tiba Winda tertawa cekikian, hingga membuat aku tersentak dan spontan beranjak.
“Jangan takut, kembali duduk, dia sudah datang!” Bentak Mang Jarik.
Meskipun takut, aku kembali duduk dengan posisi berjarak dengan Winda yang sedang kerasukan.
Tatapan liar Winda mengarah padaku sambil melenggak-lenggokan lehernya, “Kenapa kamu ingin ketemu aku!” suara serak, berat membuatku semakin menggigil.
“Ini Neng, dia ingin tahu kenapa Eneng ngajak temannya bunuh diri?” Tanya Mang Jarik terdengar lembut dan sopan.
Winda kembali tertawa cekikikan hingga badannya berguncang dan rambut panjangnya menutupi sebagian wajahnya.”Aku tidak membunuhnya, kamulah yang membuat dia ingin mengakhiri hidupnya, kamu yang membuatnya patah hati berkali-kali dan membuatnya hidupnya hampa tanpa kekasih!”
“Aku yakin, kamu yang mempengaruhinya untuk bunuh diri!” Walaupun takut, aku mencoba berusaha membela diri.
“Semua yang galau, patah hati, skripsi nggak selesai-selesai, kuliah terancam dipecat, semuanya aku ajak mengikuti jejakku, mengakhiri segala penderitaan dengan mempercepat kematian!” Winda kembali tertawa cekikian, keringat terlihat menderas diwajahnya. Sampai tawanya mereda dia langsung tertelungkup.
“Dulu dia mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri digedung rektorat ini, karena nggak lulus-lulus, padahal teman-temannya sudah pada wisuda!” Sura Mang Jarik terdengar lirih.
“Terima kasih Mang, sudah membantu.”
“Jadi mahsiswa itu jangan hanya pintar, hurus punya juga kecerdasan emosi, agar tidak mudah patah arang!” ungkap Mang Jarik diakhiri dengan senyum.
Kutemukan Mang Jarik yang beda malam ini, aroma angker diwajahnya mendadak sirna. Winda bangkit, dia terlihat bingung. Kubantu dia berdiri dan kupapah dia berjalan. Meninggalkan Mang Jarik yang masih saja betah duduk menghadap dupa sambil mulut komat-kamit.
*****
Tidak ada komentar:
Terima kasih sudah memberikan komentar