Terpasung

 

ilustrasi wanita berdiri by pixabay/firaangella1

Cerpen : Asep Wahyudin

Timang-timang  anaku sayang

Timang timang tidurlah, janganlah nakal

Timang-timang...........

Lantas terdengar tawa cekikikan seperti kuntilanak dalam film horor, aku berlari sekencang mungkin, masuk dalam kamar, jendela, pintu akan kukunci kemudiam sembunyi dalam selimut.

            Marginah namanya, perempuan yang dipasung dalam gubuk kecil yang tak jauh dari rumahku, ia telah menjadi hantu dalam imaji anak-anak seperti aku, yang kemudian dirawat oleh para orang tua untuk menakuti anak-anaknya.

             “Jangan nangis! Nanti kalau terdengar Marginah akan dikira anaknya.”

             “Jangan nakal! Nanti Ibu bilang sama Marginah!”

             “Ayo mandi! Kalau Marginah tahu nanti kamu dimandiin olehnya!”

             Pernah aku melihatnya, saat Ibunya memberinya makan, aku diam-diam mengikutinya dari belakang, dia melihatku, matanya melotot, menyala seperti bohlam, rambutnya yang panjang kusut tak terawat. Aku berlari ketakutan, kupeluk Ibu dengan jantung berdebar.

            Bermalam-malam aku meminta Ibu tidur bersama, aku begitu takut Marginah datang menculikku, pastilah ia akan mengira aku anaknya yang telah meninggal itu, ia akan berusaha melepaskan diri dari pasungannya, lantas terbang.

             “Sephia, Sephia anakku.......,” suaranya sayup mencekam di bawa angin malam.

              Aku menyelusup kepelukan Ibu.

              “Marginah itu bukan hantu, dia Cuma orang gila yang nggak bisa kemana-mana,” ujar Ibu berusaha menenangkan,”Lain kali jangan suka melihatnya, kalau memang bikin kamu takut!” lanjut Ibu.

 

*******

             Menurut cerita yang kudengar, Marginah setelah pulang dari jadi TKW di Arab, baru mengetahui anaknya yang masih kecil telah meninggal dan suaminya kawin lagi, semenjak itu Marginah suka bicara sendiri, lantas ketika ia menemukan boneka, langsung dianggap anaknya. Aku dan anak-anak lainnya selalu menonton, bagagaimana Marginah memperlakukan boneka itu, ia menyusuinya, menimang-nimang dan menidurkanya, kami lantas menggodanya.

            “Bayinya ngompol nggak?”

             Ia angkat bonekanya, “Nggak, nggak!” ia terlihat senang.

             “Nama anaknya siapa?”

             Marginah termenung,”Imam Samudra,” ungkapnya, lantas tertawa.

             “Emangnya anaknya laki-laki?”

             Ia kembali termenung, kepalanya digaruk-garuk, tatap matanya melihat kami, “Pergi, pergi, anakku mau tidur!” Marginah marah, diambilnya batu.

            Kami berlari berhamburan sebelum batu dilemparkannya, kami begitu merasa senang, Marginah saat itu bagai badut yang bisa kami tertawakan. Namun lama-kelamaan Marginah berubah, nyalang matanya liar, seperti ada bola api di dalamnya, rambutnya kusut menutupi wajahnya.

             Suatu hari, Marginah dikepung orang-orang kampung, ia menculik bayi tetanggaku, suasana begitu riuh menegangkan, orang-orang cemas dengan bayi yang ada dipangkuan Marginah.

             “Marginah, kembalikan bayi itu nak, dia bukan anakmu!” ungkap Ibunya memelas.

             Marginah tak menggubris, bayi itu ditimang-timangnya sambil tertawa cekikikan.

             “Kita hantam saja kepalanya, biar pingsan!” seru seseorang.

            “Bayi itu bisa dilemparkannya!” timpal yang lain.

             Aku begitu takut, kusaksikan peristiwa itu dengan jantung berdebar, saat itu dalam pikiranku, Marginah sudah jadi hantu, ia menculik bayi untuk dimakan jantungnya dan diminum darahnya. Namun saat kuceritakan pada Ibu, ia hanya tersenyum.

             “Dia hanya kangen pada anaknya,” ujar Ibu.

             Penjelasan sederhana Ibu tak sepenuhnya bisa kucerna, dalam pikiranku Marginah tetaplah hantu yang suka menculik anak-anak, lantas anak-anak itu akan diangkat menjadi anaknya tapi ada juga yang di rebus atau dimakan dan diminum darahnya.

             Pikiranku dan anak-anak lainnya tentang Marginah, terbentuk oleh orang tua yang menjadikan Marginah sebagai hantu untuk menakut-nakuti, hingga kami memiliki banyak versi tentang hantu Marginah. Hantu penculik anak, hantu pemakan anak, hantu merindukan anak dan hantu penjual anak.

            Dan aku berdebar dengan imaji liar tentang nasib bayi yang diculik Marginah, apa akan dimakan, dijual atau dijadikannya menjadi anaknya seperti kata Ibu.

            “Marginah, bayi itu sudah waktunya tidur!” seru Ibu Marginah lirih.

            Marginah diam dengan mata liar, ditatapnya bayi dalam gendongannya dan dengan mata polos bayi itu menatap balik Marginah, tangannya yang mungil menarik-narik rambut kusut Marginah. Marginah terlihat senang.

            “Ciluk ba! Anak mama mau bobo ya,” ujar Marginah sambil tertawa.

            Bayi itu ditidurkannya di lantai, saat tangan Marginah benar-benar terlepas dari bayi itu, dengan cepat orang-orang meringkusnya, Marginah meronta dan teriak namun jumlah orang terlalu banyak baginya, badan dan tangannya berhasil diikat, kemudian kakinyapun diikat. Marginah diseret,diguyur dan akhirnya dipasung, gubuknya di pindahkan ke tengah hutan dengan jendela berjeruji dan pintu di gembok.

            Aku senang, bersorak dan tepuk tangan, hantu berhasil dikalahkan. Namun hari berikutnya tetap saja ketakutan masih kurasakan, ditambah orang-orang masih tetap menggunakan Marginah sebagai hantu untuk menakuti anak-anak.

 

********

 

            Marginah tetaplah menjadi hantu yang tertanam dalam imaji anak-anak, hingga aku tumbuh dewasa, ceritanya masih tetap seperti semula. Namun sekarang barulah kupaham, kalau Marginah hanyalah orang gila, orang gila yang dijadikan hantu oleh orang tua, sebagaimana aku sekarang menjadikannya sebagai hantu untuk menakut-nakuti anak-anak.

            Dan, entah mengapa aku ingin menemui Marginah, setelah enam belas tahun terpasung dalam hutan, entah bagaimana rupanya, pastilah akan semakin seram, bagaimana ia bertahan? Aku penasaran dan ada setumpuk sesal yang mendorongku untuk melakukan sesuatu.

            Hari masih pagi, masih kunikmati libur kuliah di kampungku, diam-diam aku pergi ke hutan,masih kuingat cerita orang-orang dimana ia di pasung, ditengah hutan dekat pohon beringin, ada jalan setapak menuju kesana dan jalan itu tidak pernah bisa ditumbuhi rumput, karena Ibunya atau saudara Marginah tiap hari lewat jalan itu untuk mengantarkan makanan buat Marginah.

            Marginah menjadi gila,bukan hanya karena ia tidak siap menerima kenyataan hidup, anaknya meninggal dan suaminya pergi dan kawin lagi, tapi juga diperparah oleh sikap orang-orang yang memperolok-olok dan menertawakannya bahkan memasungnya, seperti aku saat kecil dulu yang menganggapnya badut dan hantu.

            Aku terlalu kecil saat itu untuk bisa mengerti, tapi sekarang, disaat aku mulai mengerti, tak ada alasan bagiku untuk diam, Marginah harus dibebaskan dan dianggap manusia seperti kita, dia hanya sakit jiwa, sakit yang tidak menular, kenapa harus diasingkan?

            Aku terus melangkah dengan pikiran tak tentu arah, aku begitu marah pada orang-orang dikampungku dan merasa malu,kenapa peristiwa menjijikan ini harus terjadi dikampungku. Hingga tak terasa langkahku sudah sampai di pohon beringin tua, aku hentikan langkah, kulihat gubuk kecil tak terawat, tak kurasakan ada aroma kehidupan disana, namun dihalaman, kulihat seseorang sedang berjongkok diantara rimbunan kembang melati.

            Dia perlahan berdiri, disiramnya kembang melati, perlahan kulangkahkan kaki sambil tetap kutatap dia, rambutnya panjang, kebaya dan kain yang dikenakannya terlihat usang, hingga tak sadar jarakku sudah dekat.

            “ Sephia ya!” tegurnya dingin.

            Aku terkejut, kupegang pagar bambu dihadapanku,”Oh, ya, iya,” aku merasa gugup dan entah mengapa ada rasa takut.

             “Sudah gede sekarang ya, nggak terasa,” dia tersenyum,dingin.

            “Mmm Mbak, Mbak Marginah!” tanyaku terbata-bata.

            Aku tertegun, Marginah yang dihadapanku begitu lain, kulitnya bersih namun terlihat pucat, rambutnya panjang nampak terawat, mungkin karena lama terpasung, aku tak melihat ada kehidupan dalam dirinya, ia terlihat mati, tatapannya mati, senyumnya mati dan aroma melati yang dirawatnya berbau mistis, aroma kematian.

             “Kenapa melamun, heran ya?” tanyanya datar, namun cukup menghujam kesadaranku.

            “Oh.ya, saya heran, kenapa Mbak masih tinggal disini, bukannya sudah sembuh,” aku mengumpulkan keberanian dan rasionalitasku.

            Marginah tersenyum,dingin,”Untuk apa hidup bersama kalau terpasung, lebih baik sendiri tapi merdeka!”ungkapnya sambil menyiram melati.

            Aku berpikir sejenak, teringat tentang teori yang mengatakan kalau orang gila bukanlah orang yang hilang ingatan, pantaslah ia masih ingat padaku,”Oh, ya Mbak kok masih ingat saya, padahal cukup lama tidak bertemu?” tanyaku memancing.

            “Sepia dulukan tetangga Mbak dan malah dulu Sepia juga sering menggoda Mbak!” matanya terarah padaku.

            Aku merasa diserang,”Maaf Mbak, waktu itu saya nggak ngerti, maklum masih kecil,” aku membela diri.

            Marginah tersenyum dingin,”Saya ngerti, tapi sekarang kamu harus ngerti, jadi wanita itu harus hati-hati!” ungkapnya dengan tatapan kosong.

            Aku terdiam, tak paham apa yang baru dikatakannya.

            “Apalagi kamu cantik!” lanjutnya,diam sejenak,”Dan yang terpenting, kamu memiliki vagina dan payudara, karena itu suami Mbak kawin lagi dan membiarkan anaknya mati. Dan kamu tahu Sepia!” ia mendekat kearahku.

            Aku mundur selangkah, rasa takut mulai berkuasa.

             “Karena dua bagian tubuh itu, Mbak mengalami banyak penderitaan, saat di Arab, dua bagian itu telah membuat majikan Mbak berusaha untuk menerkamnya, Mbak tahu ini soal waktu, dan di hari yang naas, dia tidak hanya berhasil menerkamnya tapi mencabik-cabiknya. Entah mengapa terlalu banyak hari naas!” tatapannya yang hampa kini terlihat bara.

            Aku mematung, hilang kata,hilang akal.

             “Begitu juga, saat Mbak menyusui boneka yang Mbak anggap anak, diam-diam anak-anak muda brandal itu memperhatikan, dan di malam yang gelap, mereka menyertku, memaksa untuk dapat menyusu, bergiliran mereka menghisapnya!” bara dimatanya menyala menjadi api.

             Aku terdiam gemetar, perlahan aku mundur perlahan, Marginah tiba-tiba saja tertawa liar cekikian, membuatku tak berpikir panjang lagi langsung lari sekuat tenaga, namun entah mengapa suara tawa itu seperti mengejarku, membuat jantungku kian berdebar dan bulu kuduk berdiri, aku terus saja berlari hingga keluar dari hutan barulah suara tawa Marginah hilang, aku berhenti,mengatur nafas yang terengah-engah, kuusap keringat yang menderas diwajah, perlahan aku berjalan sambil menahan rasa sakit dikaki.

            Beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang desa, mereka menatapku dengan tatapan berbeda, tatapan laki-laki yang kena birahi, aku melihat kaos yang kukenakan, ternyata sudah telihat basah oleh keringat, terutama dibagian dada. Aku mempercepat langkah kaki, tak perduli orang-orang yang memperhatikanku.

             Sampai dirumah Ibu nampak kaget, namun sebelum ia bertanya aku sudah berlari ke dapur, kemudian muncul kembali dengan sebotol air yang sudah kuminum setengahnya.

             “Darimana kamu! Habis dikejar setan!” Ibu langsung bertanya.

             “Dari hutan Bu, melihat Mbak marginah!”

            “Marginah!” Ibu terlihat kaget.

            “Iya, ia telihat sehat sih tapi aneh, benar-benar mirip kuntilanak.”

            “Apa kamu nggak salah orang! Marginah itu sudah mati gantung diri di pohon beringin itu!”

            “Mati! Sephia melihatnya di gubuknya kok, lagi menyiramin bunga melatinya!”

            Ibu tertegun,”Gubuk!” ia terlihat kaget, “Gubuk itu sudah tidak ada dan tidak ada kebun melati, yang ada hanya pohon beringin tua itu dan kuburannya Marginah!”

            Air yang aku minum seakan berhenti mengalir dan terhenti di tenggorokan, aku batuk beberapa kali, kucoba menenangkan diri dan berpikir rasional, Ibu memelukku, aku merasakan ada ketakutan dan rasionalitasku tak bisa menemukan jawaban atas yang kualami, hingga rasa takut menyerangku seperti saat kecil dulu.

 

******

Dan aku kembali tidur dengan Ibu, dipeluknya seperti saat kecil dulu, dan akupun merasa takut Marginah akan datang menemuiku, dari Ibu aku tahu bahwa yang kualami hanya melengkapi berbagai peristiwa lainnya, peristiwa orang-orang yang menemukan hantu Marginah, oleh karena itu sekarang orang-orang kampung menganggap pohon beringin tua sebagai pohon angker, maka setiap mau panen para petani akan menaruh sesaji aneka makanan dan kepala kerbau dipohon itu, juga setiap ada hajatan dan orang melahirkan pasti akan ada sesaji menggantung di pohon beringin itu.

            Marginah sekarang benar-benar telah menjadi hantu, seperti yang kami ciptakan dulu, hantu yang menakuti dan menguasai kami.Tiba-tiba aku teringat ucapannya tadi siang.

            “Untuk apa hidup bersama tapi terpasung, lebih baik hidup sendiri tapi merdeka!”

            Dan kini kami memang yang terpasung, terpasung oleh ketakutan yang kami ciptakan sendiri dan entah Marginah memang sudah merdeka?

             Dan tiba-tiba pikiran liar muncul dikepalaku, sebuah khayalan untuk menebang pohon beringin tua itu, entah apa yang terjadi nanti, apa akan ada perkelahian antara orang yang ketakutan sama marginah dengan orang-orang yang berani melawan Marginah.

             Saat kuutararakan sama Ibu, Ibu langsung membentak, “Hati-hati kalau bicara, kalau terdengar orang, kamu bisa mati besok pagi!”

             Aku terdiam tak mengerti.

 

Pernah diterbitkan koran Banjarmasin Post 28 Oktober 2012

 

                                                                                        

 

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah memberikan komentar

Diberdayakan oleh Blogger.