Tak Ada Malaikat di Jakarta

 

Jakarta

Aku mencarimu, di kota dimana lampu-lampu gemerlap membisu, orang-orang termangu  sendiri dalam keriuhan lalu lalang. Mereka terdiam memegang telpon genggam, sibuk bercengkrama dengan mereka yang tak terjamah. Sementara disini  hanya jadi kerumunan orang-orang  yang  terkurung  dalam  dirinya sendiri. Aku terasing di statsiun Gambir, statsiun yang baru kusinggahi setelah empat puluh dua tahun hidup di Republik ini.

Aku mencarimu Ruh, yang menghilang usai berseteru dengan Ayah. Kau begitu terluka saat tahu ayah  berpoligami dengan janda di daerah Wonogiri. Akhirnya kau memutuskan pergi bersama laki-laki yang menurutmu memiliki cinta suci. Sedangkan Ibu yang meratap dan pemilik cinta suci sejati kau tinggalkan. Ibu kehilangan dua orang yang dia cintai, kamu dan Ayah. Ya Ayah pun menghilang dibawa arus petualangan cintanya, hingga lima tahun kemudian dia pulang hanya tinggal mayat.

Sudah lima belas tahun kau menghilang, sepanjang itu juga Ibu banyak diam, selama itu pula Ibu menunggumu, sepanjang tahun itu pula ibu menangis. Hanya keyakinannya pada gusti Allah yang membuatnya bersabar, walau pada akhirnya usia membuatnya tumbang. Namun dalam terbaring ia tetap mendo’akanmu Roh dan terus-terus menyebut namamu.

Mungkin akhirnya Ibu mendapat bisikan dari malaikat. Dalam terbaringnya ia meminta aku pergi ke Jakarta untuk mencarimu. Aku tak tega untuk meredupkan sinar harapan dimatanya, sepertinya Ibu yakin aku akan menemukanmu di kota itu. Entah disudut mana engkau akan kutemukan, aku berharap malikat yang membisiki Ibu berbaik hati untuk menuntunku.

****

Ternyata di Jakarta tak ada malikat itu. Ketika pertama kali menginjakan kaki di stasiun Gambir, kebingungan sudah menyerangku. Kaki aku langkahkan tak tentu arah, mengikuiti hati yang sedang gelisah. Fotomu yang aku bawa ku perlihatkan pada orang-orang yang berpapasan denganku, mereka semua tak ada satu pun yang pernah bertemu denganmu apalagi mengenalimu.

Walau terasa lelah namun aku masih terus berjalan menelusuri trotoar, hingga disebuah halte aku hentikan langkah untuk beristirahat sejenak. Diam termangu sambil sambil menghela napas dalam, perut yang lapar sudah mulai aku rasakan.

Sesorang lelaki berjaket kulit warna hitam datang dan duduk di sampingku, menyalakan rokok tanpa menghiraukan aku. Kepadanya pun aku tunjukan fotomu, dia langsung memandangi  seperti berusaha mengingat sesuatu. Kemudian melihat kearahku dengan tatapan iba, mungkin dialah orang pertama di kota ini yang mampu berempati dengan penderitaanku ini.

Kemudian ia menawarkan pertolongan, ditelpon kawannya dan meminta dijemput di halte. Nggak lama berselang sebuah mobil berhenti di depan halte dan orang itu langsung beranjak berdiri dan mengajaku menaiki mobil. Walau dengan langkah sedikit ragu aku pun mengikuti ajakannya, sungguh tidak menyangka di Jakarta ada juga orang baik seperti ini.

Dengan mobil itu aku telusuri Jakarta, melintasi jalan yang berliku di tengah gedung-gedung menjulang, tapi yang aku perhatikan adalah orang-orang yang lagi berjalan ditrotoar atau mereka yang termangu di halte. Aku berharap bisa menemukan kamu disitu Roh, agar kelelahan ini bisa cepat berakhir.

Setelah berputar-putar cukup lama, gelisah muncul membuatku tidak tenang. Entah dibawa kemana aku ini. Langsung saja menanyakan pada dia yang tadi mengajaku. Awalnya dia tersenyum namun kemudian dengan bengis, perlahan meletakan belati dileherku. Bentakan terlontar  membuat nyaliku ciut. Mereka tertawa liar, menertawakan semua kebodohanku, mencarimu tanpa alamat yang dituju.

Tas yang aku bawa mereka rampas, dompet pun mereka ambil bahkan handphone yang kubeli dengan harga dua ratus ribu pun mereka sikat. Kemudian aku dibuang dipinggir jalan yang sepi, entah dimana aku tidak tahu, hanya sesekali kendaraan melintas cepat tanpa ada yang mau berhenti menolongku.

******

            Malam yang berhujan aku masih berjalan dalam gigil dan perut lapar, berharap ada orang yang iba dan memberikan pertolongan. Namun semua orang-orang yang berpapasan mereka menghindar dan memalingkan muka. Sampai aku lelah dan tak kuat lagi berjalan, kuhentikan langkah di emperan toko dan duduk termangu sambil memeluk lutut. Aku merasa hilang harapan menmukanmu Roh, aku hanya bisa pasrah dalam gigil, lapar dan sakit kepala yang menghujam.

Akhirnya saat pagi tiba. Malaikat itu mengantarkanmu Roh, aku melihat kau datang dengan tubuh kurus dan wajah terlihat lebih tua dari usiamu. Kau terisak memeluku dan menyesali semua keputusanmu. Karena laki-laki yang kau anggap mencintaimu sudah tega menjualmu ke tempat prostitusi hingga kau merasa malu untuk pulang.

Sudahlah Roh, semua sudah terjadi. Pulanglah! Ibu menunggumu dengan rindu yang sudah membeku. Aku bahagia sudah berhasil menemukanmu, walau engkau menemukanku dalam tubuh yang sudah membeku. Malaikat itu mengajakku pulang Roh, meninggalkan tubuhku yang sedang ditonton banyak orang dan diliput wartawan. Redakan tangismu, sudahlah. Selamat tinggal.

Cerpen Sen Shaka

 

  NOVEL Bucin Mencari Cinta

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah memberikan komentar

Diberdayakan oleh Blogger.