Hari Pendidikan Nasional dan Tantangannya

 

Sejarah Hari Pendidikan Nasional

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei. Tanggal 2 Mei dipilih untuk memperingati lahirnya Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. beliau adalah seorang tokoh pendidikan, politikus, sastrawan, dan budayawan yang memiliki visi untuk memajukan pendidikan di Indonesia agar lebih merdeka, demokratis, dan berbasis kebudayaan.

Ki Hajar Dewantara mengajukan gagasan pendidikan nasional yang berbasis pada konsep "Education for Life" atau pendidikan untuk kehidupan. Gagasan ini menekankan pentingnya pendidikan untuk membantu anak-anak Indonesia memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup di masa depan.

photo by ed-us-unsplash

Selain itu, Ki Hajar Dewantara juga mengusulkan konsep pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal dan kebudayaan Indonesia. Ia percaya bahwa pendidikan harus menghargai dan memperkuat identitas budaya Indonesia agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh menjadi individu yang mandiri dan mempunyai karakter yang kuat.

Ki Hajar Dewantara juga memandang bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya ditujukan untuk mencetak anak-anak yang cerdas secara akademik, tetapi juga menumbuhkan karakter dan kepribadian yang baik. Ia berpendapat bahwa pendidikan seharusnya mengajarkan anak-anak untuk berpikir kritis, mandiri, bertanggung jawab, dan berempati terhadap orang lain. Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, pendidikan juga seharusnya menjadi sarana untuk memajukan bangsa dan

Pada tahun 1922, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, sebuah sekolah yang mengadopsi prinsip-prinsip pendidikan nasional yang diusulkannya. Sekolah ini memperoleh popularitas yang besar dan membantu memperkuat gerakan pendidikan nasional di Indonesia.

Pada tahun 1959, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional untuk memperingati lahirnya Ki Hajar Dewantara dan memperingati perjuangan-perjuangan di bidang pendidikan di Indonesia.

Tantangan Dunia Pendidikan

Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk mental anak bangsa, oleh karena itu seharusnya pembentukan karakter dimulai dari pendidikan, harus ada perubahan sikap dan paradigma baik dari guru, siswa, masyarakat dan pemerintah. Ada beberapa hal yang harusnya di revolusi diantaranya;

Pertama, terkait anggapan bahwa metode menghafal merupakan kunci kesuksesan. Sudah jamak terjadi, setiap menjelang ujian, ritual menghafal sudah menjadi kebiasaan para peserta didik agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Memang, tidak ada yang salah dengan menghafal karena ilmu pengetahuan tidak akan lahir tanpa usaha menghafal dan mencatat suatu peristiwa alam atau sosial. Namun, menghafal menjadi masalah jika dilakukan tanpa mengetahui konsep sesungguhnya. Peserta didik hanya akan menghafal rentetan kata dan kalimat tanpa tahu makna sesungguhnya. Untuk merevolusi ‘ritual menghafal’ ini, tentu diperlukan perbaikan dalam metode mendidik. Pendidik perlu memberikan banyak contoh yang relevan, analisis kasus, serta percobaan percobaan di kelas yang lebih mendekatkan peserta didik pada objek yang diajarkan.

 

Kedua, terkait anggapan bahwa nilai ujian dan ijazah merupakan inti dari seluruh proses pendidikan. Jika masyarakat memandang ijazah sebagai tujuan pokok dari seluruh proses pendidikan, maka sesungguhnya telah hilanglah makna dari pendidikan itu sendiri. Pandangan tersebut, tentu berbahaya karena masyarakat hanya akan mengejar nilai ujian dan ijazah. Dengan demikian, pendidik dan peserta didik pun sama-sama dituntut untuk menjalani pendidikan sekedar sebagai formalitas untuk memperoleh nilai yang baik, lalu segera lulus dan mendapatkan ijazah. Revolusi terhadap mental ‘gila ijazah’ memang tidak mudah karena melibatkan sistem pendidikan, sistem ekonomi dan politik. Namun, upaya harus tetap dilakukan dengan memperbaiki sistem penilaian yang tidak terlalu mementingkan kuantitas, tetapi lebih kualitas. Belajar sesungguhnya untuk hidup bukan untuk nilai.

 

Ketiga, pendidik sekadar memenuhi formalitas mengajar karena tekanan sistem. Pendidik dalam menjalankan aktivitas mendidik tidak hanya berurusan dengan peserta didik dan materi yang ingin disampaikan. Pendidik juga disibukkan dengan rencana pembelajaran dan target materi yang harus disampaikan. Virus sekadar memenuhi formalitas itu tidak hanya menjangkiti guru di sekolah tetapi juga para dosen di perguruan tinggi. Karena itu, harus ada upaya agar sistem tidak membuat pengajar tertekan, tapi menjadi lebih produktif dan kreatif.

 

Keempat, semarak khotbah dan seminar yang bertujuan mengubah moral. Perubahan moral juga tidak dapat terjadi dengan khotbah atau seminar-seminar motivasi saja. Metode menyampaikan pelajaran etika dapat dilakukan dengan cara bermain peran (role play). Gaya mengajar bermain peran ini mendorong peserta didik untuk mendayagunakan pikiran, perasaan dan serta tubuhnya dalam memahami suatu peristiwa yang melibatkan penilaian etis.

 

Tidak ada komentar:

Terima kasih sudah memberikan komentar

Diberdayakan oleh Blogger.